Trauma Anak Madura
- Diposting Oleh Admin Web Ilmu Hadits
- Jumat, 20 September 2024
- Dilihat 244 Kali
Oleh: Ubaidillah As
Trauma anak-anak perindu Atlantis, sangatlah dramatis ketika saya mendengar kata “trauma” karena tidak sedikit dari beberapa anak muda terutama Gen-Z memiliki kasus trauma. Saya menemukan banyak dari hasil observasi kepada teman kelas, organisasi, sekolah, dan kampus anak Madura mengalami trauma dari cara pengasuhan dan pendidikan orang tua.
Adanya Tradisi yang banyak sekali diterapkan oleh para orang tua pada anak Madura sehingga anak mengalami trauma yang sangat hebat terutama perempuan. Mengutip dari Masyithah Mardhatillah “Perempuan Madura Sebagai Simbol Prestise” dalam Masyarakat, keluarga bahkan pria di Madura.
Sosok Ibu di Madura bisa menjadi pelaku utama trauman anak-anak di Madura khususnya perempuan karena ungkapan “ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak (al-ummu madrasah ula)” menjadikan ibu yang sering berkomunikasi dengan anak. Jikalau ibu berpendidikan dan bisa menerapkan tradisi yang baik untuk mendidik anak secara tidak langsung ibu menjadi penyebab trauma anak-anak di Madura. Tidak jauh beda dengan sosok ayah juga bisa menjadi pelaku dalam hal trauma. Tak bisa dipungkiri bahwa ayah sebagai kepala keluarga adalah sosok yang ditakuti dan dikagumi oleh anaknya. Dengan adanya ungkapan tersebut dan adanya tradisi perempuan sebagai simbol prestite menjadikan perempuan hanya di rumah saja memenuhi semua kata orang tua dan suami ketika sudah menikah.
Dengan kata lain, didikan perempuan Madura bukan sekedar syariat tapi moral yang sangat dijunjung tinggi, jika melakukan kesalahan sedikit saja anak-anak Madura mengalami bentakan dari sang ibu serta hukuman fisik dari rotan ketika mengaji maupun ketika ada suatu hal yang dilanggar. Hukuman fisik seringkali dianggap efektif untuk mendisiplinkan anak-anak, sehingga hukuman ini dapat menyebabkan trauma emosional, meningkatkan resiko gangguan perilaku, mental dan perilaku anak. Tak hanya itu trauma yang didapatkan dari tindakan pengabaian dan penekanan dari orang tua untuk anaknya menjadi penyebab trauma berkepanjangan apalagi kepada perempuan yang fitrahnya memiliki sifat yang cenderung menonjolkan perasaan atau emosi sehingga trauma yang didapat sulit untuk disembuhkan.
Traumatis yang anak Madura alami sangat panjang terutama perempuan yang paling sering berada di rumah karena menjadi simbol prestite tertuntut menjadi perempuan sesuai dengan tradisi dan keinginan dari keluarga. Mau atau tidak, siap atau tidak, perempuan di Madura harus menjadi atau mencontoh perempuan terdahulunya dan menjadikan perempuan di Madura merindukan Atlantis (tempat yang indah seperti surga, tenang, tentram dan damai).
Ungkapan didikan orang tua dalam hadis Shahih Bukhari yang berbunyi: dari Abu Hurairah ra. menuturkan dari Nabi Muhammad saw. bersabda, “tidak ada seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci dan bersih), kedua orang tuanyalah yang membuatnnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Sudah jelas bahwa orang tua menjadi transformasi anak akan beragama apa. Begitu pula dalam ranah pengasuhan dan didikan yang akan menentukan karakter, psikis, dan mental anak ke depannya. Orang tua memiliki peran penting dalam hal tersebut, begitu pula bagi mereka yang tidak mendapat kasih sayang orang tua tapi malah mendapatkan perlakuan yang keras.
Mengatasi trauma dari didikan tradisi memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan dukungan yang berkelanjutan. Seperti menyadarkan keluarga dampak negatif metode didikan tradisi kepada seluruh golongan dan kalangan hingga suatu ketika keluarga sadar dan memberikan dukungan di media sosial seperti motivasi, apresiasi dan relatenya situasi yang sedang terjadi.
Cara yang lain adalah memodifikasi atau memberikan saran yang menjadi upaya perubahan suatu tradisi yang kurang baik dan perlu disesuaikan dengan kondisi zaman seperti mengadakan diskusi terbuka dan reformasi dengan pendekatan yang lebih baik, menghormati hak individu untuk mencegah trauma yang sangat dahsyat. Mengutip dari buku Qira’ah Mubadalah bahwa kita sebagai laki-laki maupun perempuan harus mengingat peran masing-masing dalam keluarga. Ayah, ibu, istri, suami dan anak dan saling bahu -membahu, merasakan semua Bersama, sehingga bisa terwujud keluarga bahagia dan sejahtera.
Dari keluarga akan terlahir generasi baik dan umat yang baik, didikan dan pola asuh yang tepat untuk anak menjadi generasi penerus bangsa dan negara yang baik, adil, bahagia, dan sejahtera. Lalu kata Traumatis tidak akan ada dalam benak dan perasaan anak yang sudah mendapat didikan yang baik, akhirnya anak-anak akan terwujud menuju Atlantis (Kehidupan yang baik, dan penuh kebahagiaan).